Kawan Apa Lawan ??
Pagi
yang cerah dengan diiringi kicauan burung serta angin yang sepoi-sepoi menambah
nyaman suasana. Aku masih berjalan tenang menyusuri lorong sekolahku yang masih
tampak sepi. Otakku terus berputar memikirkan setiap kata yang terucap kemarin.
Visi dan misi sebagai calon ketua OSIS. Ya, Aku. Tyo Adi Hermawan, merupakan
salah satu yang terpilih menjadi kandidat terbaik, satu diantaranya adalah
Ridwan Setya Nugraha. Sahabatku. Kami adalah kandidat terkuat yang terpilih
sesuai hasil voting seminggu yang lalu. Tidak kusangka Aku akan bersaing dengan
sahabatku sendiri.
Aku
berhenti di depan sebuah kelas yang sepasang pintunya belum terbuka sempurna.
Namun, kupingku masih jelas menangkap suara dari dalam.
“Oh,
ya ??”. Suaranya terdengar memastikan.
“Iya.
Kemarin Aku dengar sendiri”. Jawabnya yakin.
“Sudah
Kuduga, Ridwan memang jauh lebih unggul. Kharismanya sudang sangat terlihat.
Dari yang kudengar, semasa SMP Dia juga mantan ketua OSIS. Siapa yang akan
meragukannya. Tidak heran guru-guru akan berkata seperti itu”. Ujarnya
membenarkan.
“Yaahh,
Akupun berpikir demikian. Mereka berdua memang sama-sama unggul. Tyo anak yang
pintar secara akademik. Tapi, Ridwanpun dibidang akademik juga tidak buruk.
Terlebih Dia mendapat tambahan nilai plus sebagai pemimpin. Aku rasa sudah
terpilih siapa pemenangnya”. Timpalnya menyetujui.
Aku
hanya membisu mendengar ocehan mereka. Rasanya begitu menyesakkan. Kurasa sudah
cukup. Akupun membuka lebar pintu ruang kelas itu hingga mereka bisa melihat
keberadaanku. Menyadari kehadiranku, dua gadis itupun segera memperbaiki
sikapnya. Terlihat aura gugup di wajah mereka melihatku yang semakin mendekat.
Kutenangkan diriku dan bersikap seolah tidak mendengar apa-apa.
“Selamat
pagi”. Sapaku ramah seperti biasa.
Kedua
gadis itu saling berpandangan.
“Pa-pagi,
Tyo”. Jawabnya kemudian, lalu beranjak pergi.
***
“Oeii
Tyo ! Kenapa diem aja ?”. Suara Ridwan menyadarkanku.
Seperti
biasa, sepulang sekolah kami selalu mencari makan siang bersama. Mataku tak
teralihkan dari dua mangkuk bakso yang sudah kosong dihadapan kami. Ridwan
masih asik nyerocos dengan ceritanya. Entah apa yang diceritakan. Sepertinya
daya dengarku masih di dimensi lain sehingga tidak bisa menangkap gelombang
suara dari mulutnya.
“Ahh,
hari ini capek banget. Gue pulang dulu ya, Wan”. Ujarku tiba-tiba, lalu
bangkit. Tanpa menunggu jawaban, Aku langsung melongos pergi begitu saja.
Mengabaikannya. Aku tidak lagi menoleh kebelakang dan semakin mempercepat
langkah kakiku. Aku tidak tahu apa yang akan dipikirkan Ridwan. Tapi, untuk
sekarang Aku masih tidak ingin peduli. Masih terasa sakit rasanya mengingat hal
yang kudengar pagi tadi. Entah, tiba-tiba muncul perasaan tidak terima
mendengar itu.
Aku,
si peraih Juara 1 Olimpiade Matematika se-Jawa Timur. Dengan prestasiku ini,
Aku sangat percaya diri mencalonkan sebagai ketua OSIS. Dan Aku sangat yakin.
Dalam akademik Aku selalu unggul, diperlombaanpun Aku selalu membawa kebanggaan
dan nama baik untuk sekolah.
“Tapi,
kenapa malah Ridwan ??!”. Batinku geram.
***
Tidak
seperti biasanya, hari ini Aku dan Ridwan tidak pulang bersama. Entah, kini Aku
sering mengacuhkannya. Berkali-kali Ia bertanya “Ada apa”, “Kenapa”, dan lain
sebagainya. Tapi, semua kuabaikan. Saat ini yang kupikirkan hanya bagaimana
cara membuat semua orang beralih simpatik padaku. Dua hari lagi adalah
pemilihan yang terakhir sebagai penentu. Aku tidak punya waktu untuk terus
bermain-main dengan Ridwan.
Beberapa
saat kemudian, Aku sampai di sebuah Café sederhana. Aku berencana menemui
seseorang disini. Saat Aku masuk, sudah kudapati seseorang yang kucari.
Beberapa
menit usai, Akupun segera bergegas pulang.
***
Keesokan
harinya.
Tiba-tiba
sekolah langsung digegerkan dengan berita pencurian sejumlah uang yang
dilakukan oleh RIDWAN atas Riko. Benar saja, siapa yang mau percaya hal ghaib
seperti itu. Tapi, apalagi mau dikata saat uang tersebut ditemukan didalam
tasnya. Dan disaksikan oleh seluruh penghuni kelas ditambah tiga monster BK
yang postur tubuhnya menyerupai Ade Rai itu. Benar, dan saat itu tepat berada
didepan mataku sendiri. Dan, aku dengan teganya hanya diam. Diam dan diam.
***
“Tyo
?”.
Tiba-tiba
terdengar suara dari dalam. Kupalingkan wajahku. Kudapati seorang cewek yang
terduduk santai dengan kedua kaki disilangkan, dan secangkir teh ditangannya.
Diteguknya sekali, lalu diletakkan kembali cangkir itu keatas meja. Ia
tersenyum melihatku yang masih melongo didepan pintu.
“Kakak,
kapan pulang ?”. tanyaku masih tidak percaya. Iapun menghampiriku.
“Pagi
tadi Kakak sampai”. Jawabnya tersenyum, lalu menggiringku keluar dan mengajakku
duduk dikusi yang disediakan di teras rumah.
“Apa
sudah libur kuliah, Kak ?”. tanyaku masih bingung. Karena memang tiba-tiba
nongol.
“Haha..
Kakak hanya rindu dengan adik kecil Kakak yang ternyata sudah dewasa”. Ujarnya
sambil mengacak-acak rambut cepakku. Aku memonyongkan bibirku. Dia ini, tidak
pernah berubah.
“Oh,
iya. Ridwan mana, Tyo ? Tumben nggak barengan”. Tanyanya seperti baru tersadar
jika adiknya yang satu baru saja lenyap.
“Ya
pulang ke rumahnyalah, Kak”. Jawabku malas. Dan Dia tersenyum ???
“Apa
terjadi sesuatu. Sepertinya Ridwan ada masalah. Kalian bertengkar ?”. tanyanya
yang membuatku mendelikkan muka.
Memang
bukan sesuatu yang mengherankan jika seorang Puspita Adi Hermawan tiba-tiba
menanyakan hal konyol seperti itu, dan lebih tidak mengherankan lagi jika
seorang Ridwan akan sangat blak-blakan kepada kakakku yang satu ini terkait
masalah yang kini menderanya. Dimatanya Ridwan juga merupakan adik
kesayangannya. Jadi, wajar saja Kak Pita dengan sukarela pulang dari tanah
rantaunya yang jauh nan disana hanya untuk ikut berpartisipasi dalam perang
dingin kedua adik tercintanya.
“Jadi,
Kakak pulang hanya untuk ini ?”. tanyaku tersinggung.
“Kakak
tidak akan menghalangi kalian”. Ujarnya terputus. Sebentar Ia menarik nafas
lalu menghembuskannya secara perlahan.
“Tyo,
hal pertama yang harus dimiliki seorang pemimpin itu adalah berjiwa bersih”.
Lanjutnya menggantung. Aku hanya mengerutkan kening rapat-rapat.
“Jangan
suka main busuk dibelakang. Itu sebuah nasehat”. Katanya sambil mengedipkan sebelah
mata. Sampai sini Aku mulai paham alur pembicaraannya. Aku masih diam.
Menunduk.
Lama
kami terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Itu mungkin hanya berlaku
untuk diriku sendiri. Lain dengan Kakakku. Sepertinya, tenaga pemikir diotaknya
tidak teralihkan dari masalah yang ada padaku. Sesaat kualihkan pandangan, Di
menatapku dengan pandangan menyedihkan, seolah Aku ini adalah orang yang begitu
mengharap belas kasihan darinya. Dasar.
“Aku
tahu”. Kataku kembali menunduk. Dia tersenyum.
“Memang
ada begitu banyak ujian dalam persahabatan. Dan bermacam-macam pula jenisnya.
Memang benar, terdapat persaingan yeng begitu menyenangkan didalamnya. Tapi,
disana pula berisi badai besar yang siap menghancurkan semuanya. Merubah percikan
api kedaimaian menjadi kobaran yang siap menghanguskan. Merubah rasa sayang
menjadi kebencian. Merubah kebersamaan menjadi permusuhan. Fatal bukan
akibatnya, jika kita tidak bisa menyikapi kata persaingan itu dengan benar”.
“Aku
pintar, Aku punya segudang prestasi. Harusnya aku yang lebih unggul”. Kataku
pelan.
“Tyo,
Kakak tahu letak kelebihan yang kamu maksudkan ada pada dirimu itu. Tapi,
seorang pemimpin tidak hanya membutuhkan kualitas otak, namun juga jiwa dan
kemampuannya untuk memimpin”. Katanya dengan suara kalem dan sangat hati-hati. Aku
tetap tidak merespon. Kembali Ia menarik nafas dan menhembuskannya.
“Seperti
yang Kakak katakan. Ridwan bercerita banyak pada Kakak. Memang Dia anak yang
baik. Terbukti dengan ini, Ia sama sekali tidak mencari siapa pelaku
pemfitnahan itu, tapi Dia hanya sibuk menghilangkan kesalahpahaman itu. Justru
Dia malah mengkhawatirkanmu”.
“Aku
???”.
“Benar.
Dia takut kamu menjauhinya karena tuduhan itu. Dia sangat tidak ingin kamu juga
salah paham. Dia kebingungan seorang diri. Dia tidak bisa menghubungimu,
makanya Ia menghubungi Kakak”. Katanya menjelaskan. Serasa ditampar mendengar
itu. Terasa sesak didada.
“Seorang
sahabat harus saling mendukung dan saling melengkapi. Kalaupun ingin bersaing
harus dengan cara yang bermartabat. Mengerti kan, adikku?”. Ujarnya bangkit,
lalu mengacak-acak rambutku dengan sayang. Aku masih diam tak menanggapi. Kutatap
matanya seolah ingin Dia memberikan jawaban atas pertanyaan yang tersirat
dimataku. Apa yang seharusnya kulakukan ?
Dia
beranjak pergi meninggalkanku. Baru beberapa langkah, Ia berhenti sebentar.
Menoleh kembali kearahku. Sesaat matanya menatapku dengan tajam, lalu
tersenyum. Lagi ??? Senyum yang mengerikan bagiku. Iapun berpaling kembali.
“Kamu
sudah besar. Tahu mana yang harus kamu lakukan. Pilihan semua ada ditanganmu.
Menjadikan Ridwan kawan, atau menjadi lawan selamanya, itu adalah keputusanmu.
Pikirkan baik-baik dan jangan sampai salah langkah, Tyo. Belum terlambat untuk
memperbaiki. Adikku”. Katanya sekali lagi, lalu menghilang dibalik pintu.
Aku
terbelalak. Semua nasehat itu. Diucapkan dengan lembut, dengan nada hati-hati.
Tapi, seolah MENYALAHKAN dan memberi peringatan untuk MENYERAH.
***
Kurebahkan
tubuhku diatas tempat tidur. Kupandangi ponsel yang sengaja kubiarkan padam
ditanganku. Kuaktifkan kembali, dan benar saja, tidak berapa lama beberapa
pesan masuk. Dan semua dari Ridwan !!
“Arrghhhh..!!!”
Prakk.
Kulempar
ponsel digenggamanku ke tembok dan dan jatuh dengan sempurna di lantai.
Benar-benar, rasanya ingin semua magma dikepalaku ini muncrat keluar. Aku
berusaha menenangkan diri. Aku berdiri menghadap cermin besar dilemari bajuku.
Kulihat pantulan diriku disana. Dia melihatku dengan iba. Begitu menyedihkan.
Pantulan dicermin itu serasa mengejekku. Apa dia juga menyalahkanku. Sial. Aku
geram melihatnya. Kualihkan pandangan kesisi samping lemari itu. Kuambil
bingkai foto diatas meja. Mataku menatap sayu pada dua sosok yang berada dalam
foto itu. Yang sama-sama tersenyum dengan menampakkan gigi-gigi putihnnya yang
sudah bak model bintang iklan pasta gigi terkenal, dan yang saling merangkul
satu sama lain. Terlihat sangat akrab.
“Maafin
Gue, Wan”.
***
Senin
pagi.
Ini
adalah hari yang sudah ditunggu-tunggu dan paling menegangkan untukku dan
Ridwan, mungkin. Setelah upacara selesai, maka akan dilanjutkan sambutan dari
kandidat calon ketua OSIS disaksikan oleh seluruh warga sekolah, sekaligus
diadakan pemilihan yang terakhir sebagai penentu siapa yang sah menjadi ketua
OSIS yang baru.
Panggilan
pertama ditujukan kepada Ridwan. Dan benar saja. Resposn yang luar biasa
dilontarkan dari kebanyakan murid laki-laki. Cacian, makian, hinaan, dan
sebangsanya itu langsung mengiringi langkahnya. Tapi, bak Dewa yang memiliki
segala kuasa, Ridwan tetap berjalan dengan tenang menuju podium dibawah semua
olok-olok itu.
Sesampainya
Ridwan didepan podium, seorang siswi kelas tiga yang berperan sebagai pembawa
acara susah payah menyuruh semua murid untuk tenang. Tapi, nihil. Baru setelah tiga
orang dari tim tatib datang –yang notabanenya adalah seorang guru BK yang amat
tersohor dengan kekejamannya - mereka bisa tenang.
“Baiklah.
Kepada Ridwan Setya Nugraha, dipersilahkan”.
Ridwan
diam sebentar.
“Baiklah,
Saya tidak perlu berpanjang lebar. Dengan semua masalah ini, sudah bisa dipastikan.
Maaf, kepada semua pihak yang selama ini sudah mendukung Saya. Terimakasih. Ini
benar-benar diluar kendali diri saya. Dan saya tegaskan sekali lagi. Saya
bukanlah orang seperti itu….”
“Pencuri
mana ada yang mau ngaku!!”. Teriak seseorang dari kerumunan yang berhasil
memotong kalimatnya. Aku palingkan wajah kearah sumber suara yang terdengar
dibelakangku. Riko. Sesaat Dia tersenyum kearahku. Senyum mengejek. Bukan
untuk Aku, tapi Ridwan. Kupalingkan
kembali wajahku. Ridwan melanjutkan.
“Dan
memang Saya sudah tidak punya hak lagi untuk posisi ini. Untuk itulah, dengan
senang hati Saya mengucapkan selamat kepada kandidat nomor dua……”
Aku
terbelalak mendengar itu. Sebelum Ridwan melanjutkan kalimatnya kembali, Aku
sudah berlari dan segera merebut microfon didepan Ridwan dan langsung mengambil
alih untuk diriku. Sebentar kembali terjadi kericuhan diantara murid. Tapi,
keadaan bisa kembali normal.
Dengan
suara yang masih terengah-engah, Aku mulai bicara. Kulihat Ridwan sebentar,
lalu kembali ke audien.
“Kepada
Kepala Sekolah, Guru-guru, dan Teman-teman semua. Masalah yang yang baru saja
terjadi akhir-akhir ini pasti sudah banyak membuat kericuhan yang luarbiasa.
Benar, Saya membicarakan permasalahan yang menimpa kandidat nomor satu. Ridwan
Setya Nugraha”. Ucapku dengan suara yang mulai bergetar. Aku berhenti sesaat.
Mengambil nafas dan menenangkan diri.
“Saya
yakin semua yang ada disini tidaklah segampang itu mempercayai hal konyol
seperti itu……”.
“Betuulllll..”.
Terdengar teriakan dari kerumunan para ladies. Aku menyeringai menahan geli.
Kulirik Ridwan yang sudah membeku bak patung es. Aku tersenyum padanya, dan
sepertinya Dia menyadari. Kulihat ada garis melengkung dibibirnya.
“Benar.
Seorang Ridwan TIDAK MUNGKIN melakukan itu”. Lanjutku yang langsung disambut
gemuruh tepuk tangan kebahagiaan. Meskipun mungkin masih ada satu atau dua
orang yang hanya terheran-heran sambil melongo mendengar kata-kataku. Tak apa.
Mungkin mereka hanya akan berpikir jika Aku sudah tidak waras karena malah
membela pihak lawan.
Beberapa
menit terdiam. Aku menutup mataku. Dengan mengucap bissmillah dalam hati, Aku kembali pada microfon yang ada
digenggamanku. Tanganku mulai bergetar memegangi benda itu. Pertanda Aku harus
segera mengkhiri kalimatku sebelum tewas ditempat. Alias pingsan.
“Dan
untuk terakhir kalinya. Saya, Tyo Adi Hermawan. Dihadapan kalian semua yang ada
disini. Dengan kesadaran penuh, atas keinginan diri pribadi, dan tanpa ada
paksaan dari siapapun….”.
Lagi-lagi
kalimatku terpotong. Semua orang masih tercengang. Keringat dingin memasahi
tubuhku. Sepertinya malaikat maut sudah menungguku disana.
Aku
geleng-gelengkan kepala untuk mengembalikan konsentrasiku yang sempat buyar.
Lalu,
“mengakui
atas kesalahan yang sudah Saya timpakan kepada saudara Ridwa. Tuduhan itu, semua
hanya FITNAH. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekacauan ini.
Terutama kepada sahabat Saya, Ridwan. Saya benar-benar khilaf dan hamper saja
menjadi manusia yang seburuk-buruknya manusia. Sekali lagi saya mohon maaf”.
Diam.
Ridwan
berlari kearahku. Dia menatapku dengan geram. Kepalan ditangannya sudah siap
dihantamkan padaku. Dia mengayunkan tangannya. Lalu….. Memelukku??
Sekali
lagi gemuruh tepuk tangan kembali menggemparkan sekolah. Ridwan masih memelukku
erat. Aku membalas pelukannya. Tiba-tiba terdengar ada bayak pasang kaki yang
bergerak mendekati kami dengan sedikit berlari-lari kecil. Tidak berapa lama,
kami sudah terkerumuni seluruh murid sekolah ini.
“Inilah
para pemimpin kita!!!!”. Teriak seseorang dari kerumunan. Suara itu. Riko???
“Yooooooo!!!!”.
Balas semua murid serempak.
Kami
hanya semakin mempererat pelukan kami.
“Bego
Loe”. Bisik Ridwan.
“Elo
yang bego”. Balasku.
“Hidup
Ridwan !!!”
“Hiduuppp”
“Hidup
Tyo !!!”
“Hidupppp”
TAMAT
BIODATA
DIRI
Nama : Deasy Astari Dawangga
Umur : 18tahun
Status : Pelajar (Kelas XII IPA)
Sekolah : SMA NEGERI 1 SLAHUNG
baca juga puisi karya Deasy disini