UA-96374271-1

KAWAN APA LAWAN

March 31, 2017



Kawan Apa Lawan ??

Pagi yang cerah dengan diiringi kicauan burung serta angin yang sepoi-sepoi menambah nyaman suasana. Aku masih berjalan tenang menyusuri lorong sekolahku yang masih tampak sepi. Otakku terus berputar memikirkan setiap kata yang terucap kemarin. Visi dan misi sebagai calon ketua OSIS. Ya, Aku. Tyo Adi Hermawan, merupakan salah satu yang terpilih menjadi kandidat terbaik, satu diantaranya adalah Ridwan Setya Nugraha. Sahabatku. Kami adalah kandidat terkuat yang terpilih sesuai hasil voting seminggu yang lalu. Tidak kusangka Aku akan bersaing dengan sahabatku sendiri.

Aku berhenti di depan sebuah kelas yang sepasang pintunya belum terbuka sempurna. Namun, kupingku masih jelas menangkap suara dari dalam.
“Oh, ya ??”. Suaranya terdengar memastikan.
“Iya. Kemarin Aku dengar sendiri”. Jawabnya yakin.
“Sudah Kuduga, Ridwan memang jauh lebih unggul. Kharismanya sudang sangat terlihat. Dari yang kudengar, semasa SMP Dia juga mantan ketua OSIS. Siapa yang akan meragukannya. Tidak heran guru-guru akan berkata seperti itu”. Ujarnya membenarkan.
“Yaahh, Akupun berpikir demikian. Mereka berdua memang sama-sama unggul. Tyo anak yang pintar secara akademik. Tapi, Ridwanpun dibidang akademik juga tidak buruk. Terlebih Dia mendapat tambahan nilai plus sebagai pemimpin. Aku rasa sudah terpilih siapa pemenangnya”. Timpalnya menyetujui.

Aku hanya membisu mendengar ocehan mereka. Rasanya begitu menyesakkan. Kurasa sudah cukup. Akupun membuka lebar pintu ruang kelas itu hingga mereka bisa melihat keberadaanku. Menyadari kehadiranku, dua gadis itupun segera memperbaiki sikapnya. Terlihat aura gugup di wajah mereka melihatku yang semakin mendekat. Kutenangkan diriku dan bersikap seolah tidak mendengar apa-apa.
“Selamat pagi”. Sapaku ramah seperti biasa.
Kedua gadis itu saling berpandangan.
“Pa-pagi, Tyo”. Jawabnya kemudian, lalu beranjak pergi.

***

“Oeii Tyo ! Kenapa diem aja ?”. Suara Ridwan menyadarkanku.
Seperti biasa, sepulang sekolah kami selalu mencari makan siang bersama. Mataku tak teralihkan dari dua mangkuk bakso yang sudah kosong dihadapan kami. Ridwan masih asik nyerocos dengan ceritanya. Entah apa yang diceritakan. Sepertinya daya dengarku masih di dimensi lain sehingga tidak bisa menangkap gelombang suara dari mulutnya.
“Ahh, hari ini capek banget. Gue pulang dulu ya, Wan”. Ujarku tiba-tiba, lalu bangkit. Tanpa menunggu jawaban, Aku langsung melongos pergi begitu saja. Mengabaikannya. Aku tidak lagi menoleh kebelakang dan semakin mempercepat langkah kakiku. Aku tidak tahu apa yang akan dipikirkan Ridwan. Tapi, untuk sekarang Aku masih tidak ingin peduli. Masih terasa sakit rasanya mengingat hal yang kudengar pagi tadi. Entah, tiba-tiba muncul perasaan tidak terima mendengar itu.
Aku, si peraih Juara 1 Olimpiade Matematika se-Jawa Timur. Dengan prestasiku ini, Aku sangat percaya diri mencalonkan sebagai ketua OSIS. Dan Aku sangat yakin. Dalam akademik Aku selalu unggul, diperlombaanpun Aku selalu membawa kebanggaan dan nama baik untuk sekolah.
“Tapi, kenapa malah Ridwan ??!”. Batinku geram.

***

Tidak seperti biasanya, hari ini Aku dan Ridwan tidak pulang bersama. Entah, kini Aku sering mengacuhkannya. Berkali-kali Ia bertanya “Ada apa”, “Kenapa”, dan lain sebagainya. Tapi, semua kuabaikan. Saat ini yang kupikirkan hanya bagaimana cara membuat semua orang beralih simpatik padaku. Dua hari lagi adalah pemilihan yang terakhir sebagai penentu. Aku tidak punya waktu untuk terus bermain-main dengan Ridwan.
Beberapa saat kemudian, Aku sampai di sebuah Café sederhana. Aku berencana menemui seseorang disini. Saat Aku masuk, sudah kudapati seseorang yang kucari.
Beberapa menit usai, Akupun segera bergegas pulang.

***
Keesokan harinya.
Tiba-tiba sekolah langsung digegerkan dengan berita pencurian sejumlah uang yang dilakukan oleh RIDWAN atas Riko. Benar saja, siapa yang mau percaya hal ghaib seperti itu. Tapi, apalagi mau dikata saat uang tersebut ditemukan didalam tasnya. Dan disaksikan oleh seluruh penghuni kelas ditambah tiga monster BK yang postur tubuhnya menyerupai Ade Rai itu. Benar, dan saat itu tepat berada didepan mataku sendiri. Dan, aku dengan teganya hanya diam. Diam dan diam.

***





“Tyo ?”.
Tiba-tiba terdengar suara dari dalam. Kupalingkan wajahku. Kudapati seorang cewek yang terduduk santai dengan kedua kaki disilangkan, dan secangkir teh ditangannya. Diteguknya sekali, lalu diletakkan kembali cangkir itu keatas meja. Ia tersenyum melihatku yang masih melongo didepan pintu.
“Kakak, kapan pulang ?”. tanyaku masih tidak percaya. Iapun menghampiriku.
“Pagi tadi Kakak sampai”. Jawabnya tersenyum, lalu menggiringku keluar dan mengajakku duduk dikusi yang disediakan di teras rumah.
“Apa sudah libur kuliah, Kak ?”. tanyaku masih bingung. Karena memang tiba-tiba nongol.
“Haha.. Kakak hanya rindu dengan adik kecil Kakak yang ternyata sudah dewasa”. Ujarnya sambil mengacak-acak rambut cepakku. Aku memonyongkan bibirku. Dia ini, tidak pernah berubah.
“Oh, iya. Ridwan mana, Tyo ? Tumben nggak barengan”. Tanyanya seperti baru tersadar jika adiknya yang satu baru saja lenyap.
“Ya pulang ke rumahnyalah, Kak”. Jawabku malas. Dan Dia tersenyum ???
“Apa terjadi sesuatu. Sepertinya Ridwan ada masalah. Kalian bertengkar ?”. tanyanya yang membuatku mendelikkan muka.
Memang bukan sesuatu yang mengherankan jika seorang Puspita Adi Hermawan tiba-tiba menanyakan hal konyol seperti itu, dan lebih tidak mengherankan lagi jika seorang Ridwan akan sangat blak-blakan kepada kakakku yang satu ini terkait masalah yang kini menderanya. Dimatanya Ridwan juga merupakan adik kesayangannya. Jadi, wajar saja Kak Pita dengan sukarela pulang dari tanah rantaunya yang jauh nan disana hanya untuk ikut berpartisipasi dalam perang dingin kedua adik tercintanya.
“Jadi, Kakak pulang hanya untuk ini ?”. tanyaku tersinggung.
“Kakak tidak akan menghalangi kalian”. Ujarnya terputus. Sebentar Ia menarik nafas lalu menghembuskannya secara perlahan.
“Tyo, hal pertama yang harus dimiliki seorang pemimpin itu adalah berjiwa bersih”. Lanjutnya menggantung. Aku hanya mengerutkan kening rapat-rapat.
“Jangan suka main busuk dibelakang. Itu sebuah nasehat”. Katanya sambil mengedipkan sebelah mata. Sampai sini Aku mulai paham alur pembicaraannya. Aku masih diam. Menunduk.
Lama kami terdiam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Itu mungkin hanya berlaku untuk diriku sendiri. Lain dengan Kakakku. Sepertinya, tenaga pemikir diotaknya tidak teralihkan dari masalah yang ada padaku. Sesaat kualihkan pandangan, Di menatapku dengan pandangan menyedihkan, seolah Aku ini adalah orang yang begitu mengharap belas kasihan darinya. Dasar.
“Aku tahu”. Kataku kembali menunduk. Dia tersenyum.
“Memang ada begitu banyak ujian dalam persahabatan. Dan bermacam-macam pula jenisnya. Memang benar, terdapat persaingan yeng begitu menyenangkan didalamnya. Tapi, disana pula berisi badai besar yang siap menghancurkan semuanya. Merubah percikan api kedaimaian menjadi kobaran yang siap menghanguskan. Merubah rasa sayang menjadi kebencian. Merubah kebersamaan menjadi permusuhan. Fatal bukan akibatnya, jika kita tidak bisa menyikapi kata persaingan itu dengan benar”.
“Aku pintar, Aku punya segudang prestasi. Harusnya aku yang lebih unggul”. Kataku pelan.
“Tyo, Kakak tahu letak kelebihan yang kamu maksudkan ada pada dirimu itu. Tapi, seorang pemimpin tidak hanya membutuhkan kualitas otak, namun juga jiwa dan kemampuannya untuk memimpin”. Katanya dengan suara kalem dan sangat hati-hati. Aku tetap tidak merespon. Kembali Ia menarik nafas dan menhembuskannya.
“Seperti yang Kakak katakan. Ridwan bercerita banyak pada Kakak. Memang Dia anak yang baik. Terbukti dengan ini, Ia sama sekali tidak mencari siapa pelaku pemfitnahan itu, tapi Dia hanya sibuk menghilangkan kesalahpahaman itu. Justru Dia malah mengkhawatirkanmu”.
“Aku ???”.
“Benar. Dia takut kamu menjauhinya karena tuduhan itu. Dia sangat tidak ingin kamu juga salah paham. Dia kebingungan seorang diri. Dia tidak bisa menghubungimu, makanya Ia menghubungi Kakak”. Katanya menjelaskan. Serasa ditampar mendengar itu. Terasa sesak didada.
“Seorang sahabat harus saling mendukung dan saling melengkapi. Kalaupun ingin bersaing harus dengan cara yang bermartabat. Mengerti kan, adikku?”. Ujarnya bangkit, lalu mengacak-acak rambutku dengan sayang. Aku masih diam tak menanggapi. Kutatap matanya seolah ingin Dia memberikan jawaban atas pertanyaan yang tersirat dimataku. Apa yang seharusnya kulakukan ?
Dia beranjak pergi meninggalkanku. Baru beberapa langkah, Ia berhenti sebentar. Menoleh kembali kearahku. Sesaat matanya menatapku dengan tajam, lalu tersenyum. Lagi ??? Senyum yang mengerikan bagiku. Iapun berpaling kembali.
“Kamu sudah besar. Tahu mana yang harus kamu lakukan. Pilihan semua ada ditanganmu. Menjadikan Ridwan kawan, atau menjadi lawan selamanya, itu adalah keputusanmu. Pikirkan baik-baik dan jangan sampai salah langkah, Tyo. Belum terlambat untuk memperbaiki. Adikku”. Katanya sekali lagi, lalu menghilang dibalik pintu.
Aku terbelalak. Semua nasehat itu. Diucapkan dengan lembut, dengan nada hati-hati. Tapi, seolah MENYALAHKAN dan memberi peringatan untuk MENYERAH.

                                                                     ***                          




Kurebahkan tubuhku diatas tempat tidur. Kupandangi ponsel yang sengaja kubiarkan padam ditanganku. Kuaktifkan kembali, dan benar saja, tidak berapa lama beberapa pesan masuk. Dan semua dari Ridwan !!
“Arrghhhh..!!!”
Prakk.
Kulempar ponsel digenggamanku ke tembok dan dan jatuh dengan sempurna di lantai. Benar-benar, rasanya ingin semua magma dikepalaku ini muncrat keluar. Aku berusaha menenangkan diri. Aku berdiri menghadap cermin besar dilemari bajuku. Kulihat pantulan diriku disana. Dia melihatku dengan iba. Begitu menyedihkan. Pantulan dicermin itu serasa mengejekku. Apa dia juga menyalahkanku. Sial. Aku geram melihatnya. Kualihkan pandangan kesisi samping lemari itu. Kuambil bingkai foto diatas meja. Mataku menatap sayu pada dua sosok yang berada dalam foto itu. Yang sama-sama tersenyum dengan menampakkan gigi-gigi putihnnya yang sudah bak model bintang iklan pasta gigi terkenal, dan yang saling merangkul satu sama lain. Terlihat sangat akrab.
“Maafin Gue, Wan”.

***

Senin pagi.
Ini adalah hari yang sudah ditunggu-tunggu dan paling menegangkan untukku dan Ridwan, mungkin. Setelah upacara selesai, maka akan dilanjutkan sambutan dari kandidat calon ketua OSIS disaksikan oleh seluruh warga sekolah, sekaligus diadakan pemilihan yang terakhir sebagai penentu siapa yang sah menjadi ketua OSIS yang baru.
Panggilan pertama ditujukan kepada Ridwan. Dan benar saja. Resposn yang luar biasa dilontarkan dari kebanyakan murid laki-laki. Cacian, makian, hinaan, dan sebangsanya itu langsung mengiringi langkahnya. Tapi, bak Dewa yang memiliki segala kuasa, Ridwan tetap berjalan dengan tenang menuju podium dibawah semua olok-olok itu.
Sesampainya Ridwan didepan podium, seorang siswi kelas tiga yang berperan sebagai pembawa acara susah payah menyuruh semua murid untuk tenang. Tapi, nihil. Baru setelah tiga orang dari tim tatib datang –yang notabanenya adalah seorang guru BK yang amat tersohor dengan kekejamannya - mereka bisa tenang.
“Baiklah. Kepada Ridwan Setya Nugraha, dipersilahkan”.
Ridwan diam sebentar.
“Baiklah, Saya tidak perlu berpanjang lebar. Dengan semua masalah ini, sudah bisa dipastikan. Maaf, kepada semua pihak yang selama ini sudah mendukung Saya. Terimakasih. Ini benar-benar diluar kendali diri saya. Dan saya tegaskan sekali lagi. Saya bukanlah orang seperti itu….”
“Pencuri mana ada yang mau ngaku!!”. Teriak seseorang dari kerumunan yang berhasil memotong kalimatnya. Aku palingkan wajah kearah sumber suara yang terdengar dibelakangku. Riko. Sesaat Dia tersenyum kearahku. Senyum mengejek. Bukan untuk  Aku, tapi Ridwan. Kupalingkan kembali wajahku. Ridwan melanjutkan.
“Dan memang Saya sudah tidak punya hak lagi untuk posisi ini. Untuk itulah, dengan senang hati Saya mengucapkan selamat kepada kandidat nomor dua……”
Aku terbelalak mendengar itu. Sebelum Ridwan melanjutkan kalimatnya kembali, Aku sudah berlari dan segera merebut microfon didepan Ridwan dan langsung mengambil alih untuk diriku. Sebentar kembali terjadi kericuhan diantara murid. Tapi, keadaan bisa kembali normal.
Dengan suara yang masih terengah-engah, Aku mulai bicara. Kulihat Ridwan sebentar, lalu kembali ke audien.
“Kepada Kepala Sekolah, Guru-guru, dan Teman-teman semua. Masalah yang yang baru saja terjadi akhir-akhir ini pasti sudah banyak membuat kericuhan yang luarbiasa. Benar, Saya membicarakan permasalahan yang menimpa kandidat nomor satu. Ridwan Setya Nugraha”. Ucapku dengan suara yang mulai bergetar. Aku berhenti sesaat. Mengambil nafas dan menenangkan diri.
“Saya yakin semua yang ada disini tidaklah segampang itu mempercayai hal konyol seperti itu……”.
“Betuulllll..”. Terdengar teriakan dari kerumunan para ladies. Aku menyeringai menahan geli. Kulirik Ridwan yang sudah membeku bak patung es. Aku tersenyum padanya, dan sepertinya Dia menyadari. Kulihat ada garis melengkung dibibirnya.
“Benar. Seorang Ridwan TIDAK MUNGKIN melakukan itu”. Lanjutku yang langsung disambut gemuruh tepuk tangan kebahagiaan. Meskipun mungkin masih ada satu atau dua orang yang hanya terheran-heran sambil melongo mendengar kata-kataku. Tak apa. Mungkin mereka hanya akan berpikir jika Aku sudah tidak waras karena malah membela pihak lawan.
Beberapa menit terdiam. Aku menutup mataku. Dengan mengucap bissmillah dalam hati, Aku kembali pada microfon yang ada digenggamanku. Tanganku mulai bergetar memegangi benda itu. Pertanda Aku harus segera mengkhiri kalimatku sebelum tewas ditempat. Alias pingsan.
“Dan untuk terakhir kalinya. Saya, Tyo Adi Hermawan. Dihadapan kalian semua yang ada disini. Dengan kesadaran penuh, atas keinginan diri pribadi, dan tanpa ada paksaan dari siapapun….”.
Lagi-lagi kalimatku terpotong. Semua orang masih tercengang. Keringat dingin memasahi tubuhku. Sepertinya malaikat maut sudah menungguku disana.
Aku geleng-gelengkan kepala untuk mengembalikan konsentrasiku yang sempat buyar. Lalu,
“mengakui atas kesalahan yang sudah Saya timpakan kepada saudara Ridwa. Tuduhan itu, semua hanya FITNAH. Saya mohon maaf yang sebesar-besarnya atas kekacauan ini. Terutama kepada sahabat Saya, Ridwan. Saya benar-benar khilaf dan hamper saja menjadi manusia yang seburuk-buruknya manusia. Sekali lagi saya mohon maaf”.
Diam.
Ridwan berlari kearahku. Dia menatapku dengan geram. Kepalan ditangannya sudah siap dihantamkan padaku. Dia mengayunkan tangannya. Lalu….. Memelukku??
Sekali lagi gemuruh tepuk tangan kembali menggemparkan sekolah. Ridwan masih memelukku erat. Aku membalas pelukannya. Tiba-tiba terdengar ada bayak pasang kaki yang bergerak mendekati kami dengan sedikit berlari-lari kecil. Tidak berapa lama, kami sudah terkerumuni seluruh murid sekolah ini.
“Inilah para pemimpin kita!!!!”. Teriak seseorang dari kerumunan. Suara itu. Riko???
“Yooooooo!!!!”. Balas semua murid serempak.
Kami hanya semakin mempererat pelukan kami.
“Bego Loe”. Bisik Ridwan.
“Elo yang bego”. Balasku.
“Hidup Ridwan !!!”
“Hiduuppp”
“Hidup Tyo !!!”
“Hidupppp”


TAMAT
















BIODATA DIRI

Nama               : Deasy Astari Dawangga
Umur               : 18tahun
Status              : Pelajar (Kelas XII IPA)
Sekolah           : SMA NEGERI 1 SLAHUNG

baca juga puisi karya Deasy disini

You Might Also Like

1 comments

Popular Posts